Tidak Ada Orang yang Tak Berbakat

Paradigma tentang bakat sudah saatnya dirombak. Menyedihkan, tatkala
seseorang terdiskreditkan karena alasan tidak berbakat. Kesempatan
untuk mencoba pun lenyap, yang tertinggal hanya pemahfuman terpaksa
dan menyerah pada nasib.

Bisa berkembang, syukur, tidak pun tak apa, toh memang tidak
berbakat. Aduh, kasihan betul. Dalam hal ini bakat dibedakan dari
spesialisasi, termasuk yang berkaitan dengan pemosisian yang berlaku
dalam dunia kerja pada umumnya.

Di kalangan orangtua, misalnya, tanpa sadar sering kali begitu cepat
memberi label anak A berbakat seni, anak B tidak, dan seterusnya.
Hal itu mengakibatkan perlakuan pada anak pun selektif. Ada anak
yang mendapat lebih banyak kesempatan mengembangkan bakat tertentu,
sementara anak lain kurang.

Contoh konkret tersebut tak terkecuali juga melanda dunia
pendidikan. Berapa persen siswa suatu sekolah punya kesempatan
mengeksplorasi bakat-bakatnya? Paling-paling tak lebih dari 10
hingga 25 persen, selebihnya dipendam atau mengembangkan dengan cara
sendiri yang belum tentu terarah dengan baik, hingga manfaatnya juga
tidak terasa.

Bakat

Definisi bakat yang ditegakkan dalam koridor gugus utama umumnya
mengacu pada dua pemahaman. Bakat adalah bawaan, given from God, dan
bakat adalah sesuatu yang dilatih. Sebelum memahami beberapa
definisi dan pendekatan bakat yang juga diungkapkan beberapa ahli,
ada baiknya kita yakini satu hal: yakin dan percayalah bahwa setiap
insan di muka bumi ini telah memiliki bakat berupa anugerah cuma-
cuma dari Sang Maha Kuasa.

Kita mengenal "Empat Karunia Ilahi" (4 Human Endowment), atau bakat
alami, yakni kesadaran diri (self awareness), imajinasi (creative
imagination) , hati nurani (conscience), dan kehendak bebas
(independent will). Tanggung jawab utama manusia sebagai penerima
mandat itu adalah memberdayakan keempat bakat alami atau talenta
atau karunia tersebut secara maksimal dan optimal.

Beberapa istilah kerap dipakai ketika berbicara bakat secara
spesifik, antara lain aptitude, talent/talenta,
intelligence/inteligensi/kecerdasan, gifted/giftedness, dan
sebagainya.

Pada dasarnya istilah-istilah tersebut membawa makna bakat yang
berkembang sesuai kebutuhan dan kepentingan. Namun sama-sama
mengandung unsur bakat bawaan dan latihan. Misalnya yang dikemukakan
Renzulli (1981), bakat merupakan gabungan dari tiga unsur esensial
yang sama pentingnya dalam menentukan keberbakatan seseorang, yakni
kecerdasan, kreativitas, dan tanggung jawab.

Kecerdasan, beserta aspek-aspeknya dapat diukur dengan peranti atau
tes psikologi, termasuk kemampuan intelektual umum dan taraf
inteligensi. Aspek-aspek kemampuan intelektual, antara lain mencakup
logika abstrak, kemampuan verbal, pengertian sosial, kemampuan
numerik, kemampuan dasar teknik dan daya ingat/ memori.

Kreativitas, menurut Guilford (1956), dapat dinilai dari ciri-ciri
aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun
ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta
komitmen menyelesaikan tugas.

Tanggung jawab, merupakan pembuktian atau tindakan nyata dari
kecerdasan dan kreativitas seseorang terkait dengan pemberdayaan
dirinya serta kontribusi bagi kehidupan sosial dan kemanusiaan.

Pendekatan lain mengatakan bakat adalah kondisi seseorang yang
dengan suatu pendidikan dan latihan memungkinkannya mencapai
kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus.

Dalam hal ini bakat merupakan interseksi dari faktor bawaan dan
pengaruh lingkungan. Jadi apabila seseorang terlahir dengan suatu
bakat khusus, jika dididik dan dilatih, bakat tersebut dapat
berkembang dan dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya jika
dibiarkan saja tanpa pengarahan dan penguatan, bakat itu akan mati
dan tak berguna.

Bakat adalah tingkat kemampuan yang tinggi yang berhasil dicapai
seseorang dalam keterampilan tertentu, demikian menurut
Tedjasaputra, MS (2003). Menampilkan bakat dibutuhkan motivasi kuat
yang disebut minat, yakni kebebasan seseorang memilih segala sesuatu
yang disukai, disenangi dan ingin dilakukan. Gardner (1993)
mengganti istilah bakat dengan "kecerdasan" saat mengusung teori
kecerdasan jamak atau multiple intelligence yang cukup banyak
dipakai.

Sedikitnya ada sembilan kecerdasan atau bakat yang mungkin dimiliki
seseorang, yakni logical mathematical, linguistic/verbal, visual
spatial, musical, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal,
natural, dan moral/ spiritual. Teori Gardner ini menjadi pegangan
bahwa setiap orang memiliki bakat unik dan berbeda. Orang tidak
dapat dipaksa berprestasi di luar bakat khusus yang paling menonjol
pada dirinya.

Bakat dan Otak Manusia

Beberapa pendekatan sebelumnya merupakan pemahaman lama yang masih
tetap dapat dianut karena belum usang. Khususnya dalam hal
penelusuran minat-bakat dan pengembangan alat tes bakat.

Sejak Prof Roger Sperry, penerima Nobel tahun 1981 melalui
penelitian panjangnya bertahun-tahun, mengungkapkan hasil temuannya
tentang gelombang otak, maka paradigma baru muncul dan berkembang.

Hipotesisnya telah dibuktikannya sendiri bahwa setiap aktivitas yang
berbeda memunculkan gelombang otak yang berbeda pula. Temuan ini
sungguh-sungguh mengubah cara pandang tentang potensi dan
kreativitas otak manusia.

Hal yang mengejutkan, rata-rata otak membagi kegiatannya secara
jelas ke dalam kegiatan "otak belahan kiri" (korteks kiri) dan
kegiatan "otak belahan kanan" (korteks kanan).

Saat korteks kanan sedang aktif, korteks kiri cenderung tenang atau
istirahat, demikian sebaliknya.

Kegiatan yang paling mudah diamati tentang pergantian aktivitas otak
adalah saat kita berjalan. Kaki kanan digerakkan oleh aktivitas otak
belahan kiri, saat kaki kiri bergerak otak belahan kanan mengambil
alih. Setiap otak memiliki keterampilan yang khas dalam urutan kerja
yang sangat rapi.

Kondisi penuh harapan dari olahan dan kembangan penemuan ini adalah
setiap orang memiliki banyak sekali keterampilan intelektual,
berpikir, dan kreativitas, yang belum digunakan sepenuhnya. Mengacu
pada beberapa definisi bakat terdahulu, jelas bahwa bakat-bakat yang
dipenuhi oleh potensi intelektual, keterampilan dan kreativitas
masih dapat terus digali dari diri kita.

Hal ini memberikan harapan besar dan makna sangat dalam, yakni kita
tidak pernah menduga bahwa ternyata kita bukannya tidak berbakat
menggambar atau tidak berbakat matematika. Yang terjadi adalah kita
tidak memberi kesempatan pada kedua belahan otak untuk menggali diri
dan unjuk maksimal.

Orang cenderung bukannya menggali dan memaksimalkan fungsi perbedaan
kegiatan otak belahan kanan dan kiri, namun justru membatasi.
Diketahui bahwa otak belahan kiri melakukan tugas-tugas yang
berkaitan dengan logika, analisis, kuantitatif, fakta, rencana,
organisasi, detail/perinci, sekuensial.

Tugas otak belahan kanan berhubungan dengan sifat keseluruhan,
intuitif, sintesis, integrasi, emosi, interpersonal, perasaan,
kinestetik.

Pembagian aktivitas ini melahirkan label bahwa seniman berotak kanan
sedangkan ilmuwan adalah orang-orang otak kiri. Maka manusia pun
seolah terbagi dikotomis, orang otak kiri dan orang otak kanan.
Betulkah?

Jangan pernah menggolongkan Albert Einstein sebagai orang berotak
kiri. Ia adalah manusia jenius yang berhasil menggali dan
memaksimalkan fungsi kedua belahan otaknya, sehingga melahirkan
teori relativitas yang luar biasa itu.

Awalnya Einstein membiarkan otak belahan kanan melakukan aktivitas
imajinasi tentang sebuah perjalanan di permukaan matahari.

Singkat cerita, perpaduan daya imajinasi dan hal lain yang dilakukan
belahan kanan, serta kemampuan matematika, berpikir sistematis dan
hal lain yang dilaksanakan belahan kiri, membawa dirinya pada sebuah
temuan spektakuler yang maha dahsyat.

Bakat, tidak semata-mata hasil ciptaan yang mencuat secara seragam
pada kesempatan berbeda, tidak pula yang hanya digambarkan oleh
atribut profesi dan pekerjaan.

Bakat adalah penggalian terus- menerus dan pemanfaatan seluruh
kapasitas otak secara bertanggung jawab untuk mewujudnyatakan
berbagai hal yang tidak itu-itu saja, atau sesuatu yang sudah
telanjur dicap sebagai bakat yang terbatas.

Artinya, tidak ada orang yang tidak berbakat untuk hal tertentu,
karena kita semua memiliki otak belahan kiri dan kanan. Coba saja
mulai latihan menulis dengan salah satu tangan yang tidak biasa
digunakan secara dominan sehari-hari. Latihlah selama satu atau dua
bulan terus-menerus.

Apa yang terjadi? Ternyata tangan kita yang satu itu berbakat
menulis juga. Hanya saja tangan yang satu lagi sudah telanjur
dominan dalam latihan bertahun-tahun sejak kita belajar menulis.
Betul?

sumber: Tidak Ada Orang yang Tak Berbakat oleh Rinny Soegiyoharto,
psikolog di BPK Penabur